Jumat, 28 Januari 2022

Percakapan Pagi, Menyesali

Sebuah rutinitas harian baru disetiap pagi menjelang bekerja. Duduk dengan sepertiga gelas kopi pahit yang kadang ku campur gula atau susu. 
Percakapan pagi itu sedikit lebih serius walaupun tetap terselip canda.
Disitu temanku adalah bapak-bapak seusia ayahku, ah tentu sudah bukan teman muda.
Tema perbincangan pagi itu tentang pengalaman berselisih dengan orang tua, begini intinya: hingga saatnya kehilangan/ kematian menyadarkan bahwa ya begitulah orang tua, jika ada (kadang) menyebalkan namun selagi masih hidup itu adalah kesempatan untuk mengasihi.
Hingga ku ambil sebuah poin penting dari sebuah kalimat:

"Bapakku dulu langsung nglokro (hidup berputus asa) karena kalimatku, ya mau bagaimana lagi memang tidak ada cara lain bahwa dokter sudah tidak punya jalan untuk mengobati penyakit tersebut", ungkap temanku.

"Akhirnya bapakku meninggal, bukan murni karena aku, karena sakit, namun memang setelah aku berkata demikian menjadikan bapakku patah semangat yang akhirnya meninggal, aku berkata sebenarnya, jika aku tidak berkata seperti itu mungkin akan beda cerita.

Namun, aku tidak mau menyesali hal tersebut, jika terus menyesali maka akan merusak hidup.

Ada sebuah cerita tentang penyesalan, yang berlangsung sedari tahun lalu, 2021.
Menyesal karena aku membagikan semua hal pada kekasihku (saat itu), tentang hari-hari, tentang pertemanan dan tentang kehidupan.
Menyesal karena aku tidak sanggup meminta maaf dengan baik.
Menyesal karena tidak sanggup menjelaskan sebuah kesalahpahaman.
Menyesal karena aku gagal memahami.
Menyesal karena cara mencintaiku tidak sesuai dengan inginnya.

Aku mengesampingkan perkara tersembunyi alasan yang bersangkutan akhirnya putus, yang ku tahu, aku menyesal atas apa yang aku perbuat.

Bukankah penyesalan sudah membunuhku, merenggut separuh dari jiwaku? 

Aku tidak mau berkata "Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia"

Rasanya sungguh terlalu besar untuk bisa ku lakukan, aku cukup dengan apapun yang kau perbuat, perbuatlah dengan sepenuh hati.

Tidak ada kecurangan disana, apapun dengan sungguh, sampai akhirnya saat aku ingin menyesal lagi atau penyesalan akan kehilangan kala itu kembali menghampiri, aku telah berusaha dengan sungguh, berkata dengan benar hanya karna penerimaan kata yang tak sama dengan maksud hatiku.



Minggu, 16 Januari 2022

Payah

Sering aku malas membuka percakapan baru, jangankan membuka percakapan baru, menjawab pertanyaan saja aku kadang merasa malas, seakan cintaku habis untuk yang terdahulu.

Ini adalah pertanyaan berulang yang adikku sampaikan
"Emang dee tau ngenei opo sih nganti koe koyo ngene?"

Aku tidak bisa menjawabnya, sebab yang dilakukannya adalah hal yang wajar dilakukan sepasang kekasih yang bucin. Nanti aku jawab begini, tentu adikku menjawab, X juga pernah melakukannya, atau ku jawab Y, tentu ada jawaban adikku yang menangkis lagi, malah mungkin akan mencari contoh yang ekstrim. Aku terdiam dan merasa payah ketika adikku bertanya hal demikian yang tentu berulangkali dilontarkan.

Adikku hanya tidak tahu kenapa aku sungguh mencintainya, bukan perkara apa yang dia telah berikan tapi apa yang telah aku curahkan untuknya.
Tentu ada hal yang tidak pernah dia tahu.

Kadang aku merasa payah, tidak habis pikir, bisa yah orang yang ku kasihi dengan begitu besar tidak bisa merasakan bahwa aku begitu mengasihinya.
Sedang orang lain yang menerima sedikit sekali kasih dariku bisa merasakannya.

Apa salah sebuah istilah lama, setiap pemberian dari hati akan sampai ke hati, nyatanya dia tidak bisa merasakan, malah meragukan.

Ya, payah.
Aku yang sedang payah 😂🤣

Jumat, 14 Januari 2022

CHATIME TOPING PUDING

 



Seorang rekan pergi ke Bantul mengunjungiku dengan membawa minuman kesukaan-nya  selepas pergi ke Gramedia untuk membeli pulpen dan kertas. Minuman itu baru ia minum sedikit karena WhatsAppku tertulis: "kesini sekarang aja, ibadah pemudanya sudah selesai".

Kami bercengkerama dibawah gelap pohon Kersen disamping gereja malam itu.
Dia membagi Chatime Puding Mangga bersamaku. (Kenapa rekanku nggak beli dua yah, buat aku satu gitu, ah baru terpikir sore ini 14/01/2022).

Desember 2020, aku menemani rekanku cek tahunan Electroencephalography (EEG) disebuah Klinik di Pusat Kota kala jadwalku WFH. Bulan ini dia akan pulang ke rumah di Pulau seberang nan jauh sehingga kami sering berjumpa selagi kami bisa bersama-sama disisa hari menjelang libur natal.
Di hari yang sama, kami ke kos teman-nya mengantar catatan kuliahnya, membeli lips conditioner baru dan membeli Chatime Original Aloevera untuk ku, duduk bangku pedestrian tengah kota melihat lalu lalang pengendara motor hingga bercerita yang rasanya sebentar tapi ternyata lama.

Teladan yang ingin aku tuliskan bukan perihal cerita kegiatan hari itu, namun Chatime selalu mengingatkanku akan sebuah penerimaan.
Aku hanya mengingat sikap beberapa orang. Ada beberapa hinaan orang lain yang dibalut rapi dalam canda. 

Namun, saat aku mengingat percakapan disamping gereja saat hujan bulan Desember.
"Ayo tidak duduk disini, tetangga pelihara ayam, nanti bau kotoran ayam"
"Aku tidak apa, aku bukan orang yang terlalu jijik-an tin"

Atau tawarannya minum Chatime berdua dengannya, aku mengiyakan.

Aku suka cara rekanku menghargai orang lain, ya aku meneladaninya. 

Suatu ketika, aku mengajaknya ke gereja St. Antonius Kotabaru, berteduh akan terik siang kala itu. Aku melihat seorang perempuan yang menggendong tas dengan pengunci yang terbuka, pikirku dia pergi bersama teman laki-laki, pasti nanti akan ketahuan dan dibenahi. Namun rekanku memanggil dan memberitahunya, dalam hati aku hanya berkata "Oh anak ini".

Juga sepulang dari Toko Diana Musik, dia menundukkan kepalanya berpamitan pada tukang parkir, dalam hati "Hei yang orang Jawa siapaaaa."

Sering kali aku berkata, ih kita itu langit dan bumi, tapi dia tidak pernah menganggapku seperti itu.

Di mataku, orang yang punya kapasitas setinggi itu saja sanggup menerima dengan baik, berbicara dengan bahasan yang ku pahami, duduk ditempat yang sama dengan yang ku duduki.

Begitu lah saya belajar, mengingat, menanamkan dalam hati.

Lalu, saat ada orang yang berkata-kata bak pujangga dengan bermegah atau buruknya lagi merendahkanku, aku tertawa dalam hati, kau tak sebanding dengan tokoh diatas.

🙂

Rabu, 12 Januari 2022

ANAK TUNGGAL YANG MENANGAN VS ANAK PERTAMA YANG DOMINAN

Christin Sri Hastuti


Ditulis sebagai refleksi atas pengalaman pribadi tahun lalu.

Tumbuh dalam asuhan kedua orang tua dan seorang nenek membuat saya menjadi anak yang hidup berlimpah dengan kasih sayang, apalagi untuk ukuran masyarakat ibu saya menikah di usia yang tidak lagi muda, tentu saya adalah cucu yang dinantikan oleh nenek. Saya adalah anak perempuan sulung dan cucu pertama perempuan dari ibu saya saat itu.

Tentu saya biasa mendapatkan banyak cinta kasih yang berlimpah. Pada umur 5 tahun, lahir adik perempuan dalam keluarga, saya tidak terlalu ingat bagaimana orang tua saya mengasuh saya saat itu, namun banyak memori manis kasih sayang nenek saya, sebab nenek  selalu memberikan yang saya inginkan, bukankan keinginan yang dipenuhi adalah kesukaan besar. (akan saya tuliskan menyusul). 

Saya tumbuh menjadi anak perempuan yang dominan dalam keluarga, waktu kecil menentukan jenis permainan yang kami mainkan, memaksakan adik mengikuti jalan cerita sebuah permainan, dan sudah selayaknya seorang kakak biasa menjadi bossy didepan adik, seperti halnya meminta segelas susu serta permintaan-permintaan kecil sehari-hari dengan menyelipkan kata "tolong"

Tentang drama masa kecil, biasanya adik lama dalam melakukan sesuatu, atau tidak sesuai dengan rencana rekreasi setelah mandi sore, tentu saja ngambek adalah sebuah respon sehingga adik akan meminta maaf dan memohon. Sungguh drama yang tidak elok. Itulah anak perempuan sulung yang dominan. 

Saya adalah anak sulung dirumah, namun saya adalah anak bungsu dilingkungan yang lain. Saya menjadi yang termuda dalam kelas selama bertahun-tahun, mulai dari Taman Kanai-kanak sampai dalam bangku Kuliah, ditambah menjadi yang termuda di unit saya bekerja, membentuk saya memiliki jiwa anak bungsu.

Sedang di lain Pulau, ada kehidupan seorang anak laki-laki tunggal dalam keluarga. Berawal dari cerita keluarga dimana ayah dan ibu mengharapkan seorang anak, kehilangan putera dalam kandungan (kalau tidak salah, intinya meninggal) akhirnya Allah memberikan seorang putera dalam pernikahan. Tumbuh menjadi putera satu-satunya.
Pada masa remaja harus mengalami sakit yang luar biasa, ibu merawatnya hingga akhirnya saya memandangnya sebagai anak laki-laki yang memang ditakdirkan untuk hidup. Saya paham betul bagaimana kedua orang tuanya memberikan kasih sayang yang begitu besar, anak tunggal yang pastinya tidak pernah berbagi apapun dengan siapapun, sebut saja anak tunggal yang menangan. Di sisi lain, dia adalah anak bungsu di lingkungan gereja tempat pelayanan. Dijuluki sebagai adik kecil oleh kakak-kakak perempuan tentu jiwa anak bungsu tertanam disana.

Dua sosok yang sebenarnya sangat keras dan memiliki ego yang sama tingginya. Mempertahankan keyakinan dan ego adalah hal yang utama,  mengalah adalah hal yang tidak biasa dilakukan dalam sebuah perselisihan paham. 

Hal yang menyadarkan betapa merusaknya sifat keras kepala dan ego adalah sebuah perpisahan. Dengan begitu saya belajar, ya, saya telah membaca banyak cerita perpisahan karena keras kepala dan ego, namun pengalaman ini adalah guru paling nyata, perpisahan yang meluruhkan setengah dari jiwa.

Akhirnya saya paham, kenapa ibu ku dan ibu mu menjadi orang yang bisa mengalah dan berjiwa besar. Ibu kita mempertahankan pernikahan mereka.


Kamis, 06 Januari 2022

Perjumpaan sore sepulang kerja

Berawal dari komen story teman, 
🐶 Ng Jogja po? 
🐯 Iya tin 
habis campinh
--------------------------
4/1/2022
🐯 Itin apa kabarrr
Ngopi2 ngapaa

Oke, bolehlah untuk perempuan lajang keluar ngopi sepulang kerja.

Hari berikutnya, 5/1/2022
Berbincang dengan hangat tapi ditemani es cold brew pandan, jadinya yah enggak hangat lagi.

Sampai akhirnya saya tahu betul maksud kata-kata yang sempat beliau ucapkan pertengahan tahun 2019 saat liburannya di Jogja kala itu.
"Itin mah dimanja dirumah, aku tu tahuuu, pernah kerumah"
Tentu aku membantahnya, bagaimana tidak, hanya karna pernah beberapa kali kerumah di minggu pagi (bantu main musik ibadah pagi); aku mengerjakan pekerjaan rumah, dulu juga sempat membantu panen padi, atau pindahkan urug untuk rumah kami. Rasanya tidak terima. 

Tapi hari ini, paham betul bahwa bukan karena dimanja tapi rumahku adalah tempat yang aman dan nyaman untuk kehidupanku.

Dibanding dengan petualangan hidupnya yang begitu keras, tentu aku tidak sanggup berjuang sekeras dia. Selama ini aku hanya tahu tanpa mengenal perjalanan yang telah dia tempuh.
Hal menarik di tengah perbincangan,
Apa alasan kamu sanggup menjalani tanggungjawab sebesar itu untuk keluarga?

Jawabnya:
Untuk saat ini, aku dipercayakan tanggungjawab ini karena Tuhan anggap aku mampu, untuk saat ini aku yang harus jadi jalan berkat, suatu saat mungkin kebalikannya. Dan itulah alasannya kenapa aku dilahirkan.

Kalimat yang sama seperti diungkapkan Pendeta Joni beberapa bulan yang lalu.

Perjumpaan sore itu menyadarkanku kembali,
Alasan kenapa tidak sepantasnya kita menghakimi kehidupan orang lain, karena ukuran setiap manusia adalah berbeda, kita tidak pernah tahu hal-hal dibelakang sana yang sedang dihadapi.

Hidup itu perjalanan tentang perjuangan. Kehidupan dunia terkadang terasa begitu keras lantas tidak membuat kita berhenti bukan?

Istirahat, jika memang lelah.
Berjalan sedikit, demi sedikit.
Hidup dari hari ke hari.






Minggu, 02 Januari 2022

Isai di Akhir Tahun


Tahun 2021 adalah tahun yang berat untuk seorang perempuan yang biasa hidup sederhana dengan begitu tenang.
Tentang perasaan kehilangan yang setara dengan luruhnya setengah dari jiwa.
Tentang sakit mendadak yang dialami anggota keluarga, hingga sakit yang up to date (Covid - 19) kala itu.
Tentang drama perpisahan yang berlanjut hingga hampir akhir tahun.
Hingga akhirnya di malam hari, 25 Desember 2021, aku instal datting apps. 
Tanpa pikir panjang, tanpa lihat profil, semua dapat bagian love.
Match pertamaku yang adalah seorang yang tinggi besar, yang tiada kusangka adalah orang dari circleku sendiri hingga berakhir pada keheranan: "Hah? Ternyataaa".
Bukan perkara orang nya. 


Ada yang lebih menarik dari itu, aku membaca setiap sorotan yang terpampang di instagram.
Orang tersebut menuliskan banyak hal tentang kehidupan, ya tentang kekuatan jiwa.
Awalnya aku ingin menulis betapa hancurnya aku di tahun 2021 berubah haluan, aku melihat hal positif yang akhirnya menamparku "heh cengeng".

Aku melihat bahwa itu adalah Jalan Tuhan, memberi kekuatan, mengingatkan kembali dan adalah bijak dalam menulis caption di instagram (mungkin dengan dalih: akun ku terserah aku, hanya untuk diriku sendiri), ternyata tidak sesederhana itu, ada berkat untuk orang lain jika tulisan mengandung hal yang baik.

Ya, Allah menutup tahun 2021 ku dengan sepiring nasi babi lezat bersama seorang pemberani dan petualang.