Jumat, 14 Januari 2022

CHATIME TOPING PUDING

 



Seorang rekan pergi ke Bantul mengunjungiku dengan membawa minuman kesukaan-nya  selepas pergi ke Gramedia untuk membeli pulpen dan kertas. Minuman itu baru ia minum sedikit karena WhatsAppku tertulis: "kesini sekarang aja, ibadah pemudanya sudah selesai".

Kami bercengkerama dibawah gelap pohon Kersen disamping gereja malam itu.
Dia membagi Chatime Puding Mangga bersamaku. (Kenapa rekanku nggak beli dua yah, buat aku satu gitu, ah baru terpikir sore ini 14/01/2022).

Desember 2020, aku menemani rekanku cek tahunan Electroencephalography (EEG) disebuah Klinik di Pusat Kota kala jadwalku WFH. Bulan ini dia akan pulang ke rumah di Pulau seberang nan jauh sehingga kami sering berjumpa selagi kami bisa bersama-sama disisa hari menjelang libur natal.
Di hari yang sama, kami ke kos teman-nya mengantar catatan kuliahnya, membeli lips conditioner baru dan membeli Chatime Original Aloevera untuk ku, duduk bangku pedestrian tengah kota melihat lalu lalang pengendara motor hingga bercerita yang rasanya sebentar tapi ternyata lama.

Teladan yang ingin aku tuliskan bukan perihal cerita kegiatan hari itu, namun Chatime selalu mengingatkanku akan sebuah penerimaan.
Aku hanya mengingat sikap beberapa orang. Ada beberapa hinaan orang lain yang dibalut rapi dalam canda. 

Namun, saat aku mengingat percakapan disamping gereja saat hujan bulan Desember.
"Ayo tidak duduk disini, tetangga pelihara ayam, nanti bau kotoran ayam"
"Aku tidak apa, aku bukan orang yang terlalu jijik-an tin"

Atau tawarannya minum Chatime berdua dengannya, aku mengiyakan.

Aku suka cara rekanku menghargai orang lain, ya aku meneladaninya. 

Suatu ketika, aku mengajaknya ke gereja St. Antonius Kotabaru, berteduh akan terik siang kala itu. Aku melihat seorang perempuan yang menggendong tas dengan pengunci yang terbuka, pikirku dia pergi bersama teman laki-laki, pasti nanti akan ketahuan dan dibenahi. Namun rekanku memanggil dan memberitahunya, dalam hati aku hanya berkata "Oh anak ini".

Juga sepulang dari Toko Diana Musik, dia menundukkan kepalanya berpamitan pada tukang parkir, dalam hati "Hei yang orang Jawa siapaaaa."

Sering kali aku berkata, ih kita itu langit dan bumi, tapi dia tidak pernah menganggapku seperti itu.

Di mataku, orang yang punya kapasitas setinggi itu saja sanggup menerima dengan baik, berbicara dengan bahasan yang ku pahami, duduk ditempat yang sama dengan yang ku duduki.

Begitu lah saya belajar, mengingat, menanamkan dalam hati.

Lalu, saat ada orang yang berkata-kata bak pujangga dengan bermegah atau buruknya lagi merendahkanku, aku tertawa dalam hati, kau tak sebanding dengan tokoh diatas.

🙂

Tidak ada komentar:

Posting Komentar